Kamis, 01 April 2010

sastra lama

Hampir semua ahli sepakat bahwa Sastra Indonesia Lama tidak diketahui kapan munculnya. Yang dapat dikatakan adalah bahwa Sastra Indonesia Lama muncul bersamaan dengan dimulainya peradaban bangsa Indonesia, sementara kapan bangsa Indonesia itu ada juga masih menjadi perdebatan. Yang tidak disepakati oleh para ahli adalah kapan sejarah sastra Indonesia memasuki masa baru. Ada yang berpendapat bahwa Sastra Indonesia Lama berakhir pada masa kebangkitan nasional (1908), masa Balai Pustaka (1920), masa munculnya Bahasa Indonesia (1928), ada pula yang berpendapat bahwa Sastra Indonesia Lama berakhir pada masa Abdullah bin Abdulkadir Munsyi (1800-an). Alhasil, ada dua versi besar periodisasi sastra Indonesia. Versi pertama adalah bahwa sejarah sastra Indonesia dikelompokkan menjadi tiga kelompok besar yaitu 1) Sastra Indonesia Lama, 2) Sastra Indonesia Baru, dan 3) Sastra Indonesia Modern. Sedangkan versi kedua membagi sejarah sastra Indonesia menjadi empat kelompok besar, yaitu 1) Sastra Indonesia Lama, 2) Sastra Indonesia Peralihan, 3) Sastra Indonesia baru, dan 4) Sastra Indonesia Modern.Sastra Indonesia Lama adalah masa sastra mulai pada masa pra-sejarah (sebelum suatu bangsa mengenal tulisan) dan berakhir pada masa Abdullah bin Abdulkadir Munsyi. Ada juga yang mengatakan bahwa sastra Indonesia lama berakhir pada masa balai Pustaka. Sastra Indonesia Lama tidak dapat digolong-golongkan berdasarkan jangka waktu tertentu (seperti halnya Sastra Indonesia baru) karena hasil-hasil dari sastra masa ini tidak mencantumkan waktu dan nama pengarangnya. Beberapa pembagian Sastra Indonesia Lama adalah sebagai berikut:
A. Berdasarkan bentuknya, sastra Indonesia Lama dibagi menjadi dua:
Prosa lama
Puisi Lama
B. Berdasarkan isinya, Sastra Indonesia Lama dibedakan menjadi tiga, yaitu:
Sastra Sejarah
Sastra Undang-Undang
Sastra petunjuk Bagi Raja atau Penguasa
C. Berdasarkan pengaruh asing, Sastra Indonesia Lama dibedakan menjadi
tiga, yaitu:
Sastra Indonesia Asli
Sastra Indonesia Lama Pengaruh Hindu
Sastra Indonesia Lama Pengaruh Islam
Ciri-ciri kesusastraan Indonesia Lama 1. Bersifat onomatope/anonim, yaitu nama pengarang tidak dicantumkan dalam karya sastra. 2. Merupakan milik bersama masyarakat. 3.Timbul karena adat dan kepercayaan masyarakat 4.Bersifat istana sentris, maksudnya ceritanya berkisar pada lingkungan istana 5. Disebarkan secara lisan 6.Banyak bahasa klise, yaitu bahasa yang bentuknya tetap.Jabatan/orang yang sangat berjasa dalam penyebaran sastra Indonesia Lama adalah pawang. Ia adalah kepala adat (istilah sekarang mungkin sama dengan “dukun” dalam kebudayaan Jawa). Jabatan ini berbeda dengan kepala suku
SASTRA INDONESIA LAMA BERDASARKAN BENTUKNYA
A. PROSA LAMA
Dongeng
Dongeng adalah prosa cerita yang isinya hanya khayalan saja, hanya ada dalam fantasi pengarang.Dongeng dibedakan menjadia. Fabel, yaitu dongeng tentang kehidupan binatang. Dongeng tentang kehidupan binatang ini dimaksudkan agar menjadi teladan bagi kehidupan manusia pada umumnya
Farabel, yaitu dongeng tentang binatang atau benda-benda lain yang mengandung nilai pendidikan. Binatang atau benda tersebut merupakan perumpamaan atau lambang saja. Peristiwa ceritanya merupakan kiasan tentang pelajaran kesusilaan dan keagamaan.
Legende, yaitu dongeng yang dihubungkan dengan keajaiban alam, terjadinya suatu tempat, dan setengah mengandung unsur sejarah.
Mythe, yiatu dongeng yang berhubungan dengan cerita jin, peri, roh halus, dewa, dan hal-hal yang berhubungan dengan kepercayaan animisme.
Sage, yaitu dongeng yang mengandung unsur sejarah meskipun tidak seluruhnya berdasarkan sejarah.
2. Hikayat
Kata hikayat berasal dari bahasa Arab yang artinya cerita. Hikayat adalah cerita yang panjang yang sebagian isinya mungkin terjadi sungguh-sungguh, tetapi di dalamnya banyak terdapat hal-hal yang tidak masuk akal, penuh keajaiban. (Dick hartoko dan B. Rahmanto memberikan definisi hikayat sebagai jenis prosa cerita Melayu Lama yang mengisahkan kebesaran dan kepahlawanan orang-orang ternama, para raja atau para orang suci di sekitar istana dengan segala kesaktian, keanehan dan mu`jizat tokoh utamanya, kadang mirip cerita sejarah atau berbentu riwayat hidup.

Tambo
Tambo adalah cerita sejarah, yaitu cerita tentang kejadian atau asal-usul keturunan raja.
2. Wira Carita (Cerita Kepahlawanan)
Wira carita adalah cerita yang pelaku utamanya adalah seorang kesatria yang gagah berani, pandai berperang, dan selalu memperoleh kemenangan.
B. PUISI LAMA
Mantra
Mantra adalah kata-kata yang mengandung hikmat dan kekuatan gaib. Mantra sering diucapkan oleh dukun atau pawang, namun ada juga seorang awam yang mengucapkannya.
2. Bidal.
Bidal adalah pepatah atau peribahasa dalam sastra Melayu lama yang kebanyakan berisi sindiran, peringatan, nasehat, dan sejenisnya. Yang termasuk dalam kategori bidal adalah: Ungkapan, yaitu kiasan tentang keadaan atau kelakauan yang dinyatakan dengan sepatah atau beberapa patah kata. Peribahasa, yaitu kalimat lengkap yang mengungkapkan keadaan atau kelakuan seseorang dengan mengambil perbandingan dengan alam sekitar. Tamsil, yaitu seperti perumpamaan tetapi dikuti bagian kalimat yang menjelaskan. Ibarat, yaitu seperti perumpamaan dan tamsil tetapi diikuti bagian yang menjelaskan yang berisi perbandingan dengan alam. Pepatah, yaitu kiasan tetap yang dinyatakan dalam kalimat selesai. Pemeo, yaitu ucapan yang terkenal dan diulang-ulang, berfungsi sebagai semboyan atau pemacu semangat.
3. Pantun
Pantun ialah puisi lama yang terikat oleh syarat-syarat tertentu (jumlah baris, jumlah suku kata, kata, persajakan, dan isi).Ciri-ciri pantun adalah:
§ pantun terdiri dari sejumlah baris yang selalu genap yang merupakan satu kesatuan yang disebut bait/kuplet.
§ Setiap baris terdiri dari empat kata yang dibentuk dari 8-12 suku kata (umumnya 10 suku kata).
§ Separoh bait pertama merupakan sampiran (persiapan memasuki isi pantun), separoh bait berikutnya merupakan isi (yang mau disampaikan).
§ Persajakan antara sampiran dan isi selalu paralel (ab-ab atau abc-abc atau abcd-abcd atau aa-aa)
§ Beralun dua Berdasarkan bentuk/jumlah baris tiap bait, pantun dibedakan menjadi Pantun biasa, yaitu pantun yang terdiri dari empat baris tiap bait. Pantun kilat/karmina, yiatu pantun yang hanya tersusun atas dua baris. Pantun berkait, yiatu pantun yang tersusun secara berangkai, saling mengkait antara bait pertama dan bait berikutnya. Talibun, yaitu pantun yang terdiri lebih dari empat baris tetapi selalu genap jumlahnya, separoh merupakan sampiran, dan separho lainnya merupakan isi. Seloka, yaitu pantun yang terdiri dali empat baris sebait tetapi persajakannya datar (aaaa).Berdasarkan isinya, pantun dibedakan menjadi:
Pantun anak-anak - pantun bersuka cita- pantun berduka cita. Pantun muda- pantun perkenalan- pantun berkasih-kasihan- pantun perceraian- pantun beriba hati- pantun dagang -Pantun tua- pantun nasehat- pantun adat- pantun agama.- Pantun jenaka.-Pantun teka-teki
4. Gurindam
Gurindam adalah puisi lama yang terdiri dari dua baris satu bait, kedua lariknya merupakan kalimat majemuk yang selalu berhubungan menurut hubungan sebab-akibat. Baris pertama merupakan syaratnya sedangkan baris kedua merupakan jawabannya. Gurindam berisi petuah atau nasehat. Gurindam muncul setelah timbul pengaruh kebudayaan Hindu.
5. Syair
Kata syair berasal dari bahasa Arab syu’ur yang artinya perasaan. Syair timbul setelah terjadinya pengaruh kebudayaan islam. Puisi ini terdiri dari empat baris sebait, berisi nasehat, dongeng, dan sebagian besar berisi cerita. Syair sering hanya mengutamakan isi. Ciri-ciri syair: terdiri dari empat baris, tiap baris terdiri dari 4-5 kata (8-12 suku kata), persamaan bunyi atau sajak akhir sama dan sempurna, tidak ada sampiran, keempatnya merupakan isi, terdiri dari beberapa bait, tiap bait berhubungan, biasanya berisi cerita atau berita.
6. Prosa liris (kalimat berirama)
Prosa liris adalah prosa yang di dalamnya masih terdengar adanya irama.

Puisi-puisi Arab
Bentuk-bentuk puisi Arab adalah: Masnawi, yaitu puisi lama yang terdiri dari dua baris sebait (sama dengan disthikon). Skema persajakannya berpasangan aa,bb,cc, … dan seterusnya) dan beiri puji-pujian untuk pahlawan, Rubai, yaitu puisi lama yang terdiri dari empat baris sebait (sama dengan kuatrin). Skema persajakannya adalah a-a-b-a dan berisi tentang nasihat, puji-pujian atau kasih sayang, Kit’ah, yaitu puisi lama yang terdiri dari lima baris sebait (sama dengan quin), Gazal, yaitu puisi lama yang terdiri dari delapan baris sebait (sama dengan stanza atau oktaaf). Nazam, yaitu puisi lama yang terdiri dari duabelas baris sebait. Di samping yang sudah disebutkan di atas, ada beberapa bentuk lain yang perlu dikenal walaupun sebenarnya tidak murni berasal dari Sastra Melayu. Bentuk-bentuk tersebut adalah: KabaAdalah jenis prosa lirik dari sastra Minangkabau tradisional yang dapat didendangkan. Biasanya orang lebih tertarik pada cara penceritaan daripada isi ceritanya. Kaba termasuk sastra lisan yang dikisahkan turun temurun. Contohnya adalah cerita Sabai nan Aluih. Kakawin Adalah sejenis puisi yang ditulis dalam bahasa Jawa Kuno dan yang mempergunakan metrum dari India (Tambo). Berkembang pada masa Kediri dan Majapahit. Penyairnya disebut kawi. Contohnya Ramayana, Arjunawiwaha, dan negarakertagama. KidungJenis puisi Jawa Pertengahan yang mempergunakan persajakan asli Jawa. Parwa Adalah jenis prosa yang diadaptasi dari bagian-bagian epos dalam bahasa sanskerta dan menunjukkan ketergantungannya dengan kutipan-kutipan dari karya asli dalam Bahasa Sanskerta. Kutipan-kutipan tersebut tersebar di seluruh teks parwa yang biasanya berbahasa Jawa Kuno Cerita Pelipur LaraSejenis sastra rakyat yang pada mulanya berbentuk sastra lisan. Cerita jenis ini bersifat perintang waktu dan menghibur belaka. Kebanyakan menceritakan tentang kegagahan dan kehebatan seorang ksatria tampan yang harus menempuh seribu satu masalah dalam usahanya merebut putri cantik jelita yang akan dipersunting. (Hampir sama dengan hikayat).
Contoh-contoh puisi lama:
Ø Gurindam
Baik-baik memilih kawan
Salah-salah bisa jadi lawan, dst
Pabila banyak mencela orang
Itulah tanda dirinya kurang

Dengan ibu hendaknya hormat
Supaya badan dapat selamat

Ø Karmina
Kayu Lurus dalam ladang
Kerbau kurus banyak tulang
Ø Talibun
Tengah malam sudah terlampauDinihari belum lagi nampakBudak-budak dua kali jagaOrang muda pulang bertandangOrang tua berkalih tidurEmbun jantan rintik-rintikBerbunyi kuang jauh ke tengahSering lanting riang di rimbaMelenguh lembu di padangSambut menguak kerbau di kandangBerkokok mendung, Merak mengigalFajar sidik menyinsing naikKicak-kicau bunyi MuraiTaktibau melambung tinggiBerkuku balam dihujung bendulTerdengar puyuh panjang bunyiPuntung sejengkal tinggal sejariItulah alamat hari nak siang(Hikayat Malim Deman)
Ø Syair
Pada zaman dahulu kala Tersebutlah sebuah cerita Sebuah negeri yang aman sentosa Dipimpin sang raja nan bijaksana
Negeri bernama Pasir Luhur Tanahnya luas lagi subur Rakyat teratur hidupnya makmur Rukun raharja tiada terukur
Raja bernama Darmalaksana Tampan rupawan elok parasnya Adil dan jujur penuh wibawa Gagah perkasa tiada tandingnya

Ø Pantun
Ada pepaya ada mentimun Ada mangga ada salak Daripada duduk melamunMari kita membaca sajak


SASTRA MODERN
Pada dasarnya sastra modern tidak jauh berbeda dari sastra lama. Karena sastra lama merupakan tangga untuk menuju sastra modern. Hanya saja yang harus digarisbawahi sastra modern lebih luasa cakupanya dan juga lebih lugas untuk dipahami, karena kebanyakan sudah menggunakan bahasa Indonesia dengan ejaan yang mudah dipahami, dibanding dengaqn sastra lama yang kebanyakan masih menggunakan bahasa melayu.
Sastra Modern Indonesia, sebagai anak kandung Kebudayaan Indonesia, berikut infrastruktur bangunan dan pengikutnya turut mengamini hal ini: Sastra Indonesia adalah satu, berbahasa Indonesia satu. Sastra Indonesia adalah satu, berbangsa Indonesia satu. Sastra Indonesia adalah satu, bertanah air Indonesia satu. Di luar itu dia harus minggir. Tanpa “bahasa” pemersatu, sang lingua-franca, dia tak layak disebut Sastra Modern Indonesia. Itu kenyataan. Terbentuknya Bahasa Indonesia sebagai “bahasa”, berkaitan dengan sejarah terbentuknya “Bangsa Indonesia”, sebab “bahasa” berpadanan dengan pengertian Melayu, sebagai “agama”, “kebudayaan”, “sopan-santun”, “norma”, “tutur-kata”.
Di luar “bahasa” Indonesia Baru menurut Ejaan Yang Disempurnakan (EYD), Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dan Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI)[1][7], karya-karya tradisi sastra lisan maupun tertulis—jumlahnya tak terhingga berserakan—harus rela masuk kotak pandora dengan diberi gincu: Sastra Daerah, yang melulu diurus dewan kesenian daerah yang bersangkutan, guru bahasa daerah yang kekurangan pangan dan dinas kebudayaan yang manja menunggu dana dari pusat. Meskipun di depan mata jelas terjegil pluralitas adalah fakta, dan fakta tidak melulu barang haram, lamun tataran praksis di atas kertas justru berbeda: telah berlangsung proses “pelepasan identitas” dari berbagai kultur yang sudah lama hidup berdampingan. Maka beramai-ramailah Bangsa Tidore mengambil privat bahasa Indonesia dan Bangsa Dani mengganti koteka mereka menjadi peci dan sarung agar menjadi orang “Indonesia”. Pramoedya Ananta Toer dalam banyak tulisannya menyebutkan: semasa kecilnya ia selalu menulis karya dalam bahasa Jawa, akan tetapi begitu era kemerdekaan, dia pun turut me-merdeka-kan dirinya dari bangsa Jawa: menjadi bangsa baru Indonesia dengan meninggalkan “bahasa” Jawa dan seluruh tata-kramanya. Secara radikal, dalam seluruh tulisannya. Demikianlah, tak sedikit masyarakat Batak berlatah dan berwatak sehalus orang Jawa, dan menjadi manusia nrimo karena lama tinggal di Jakarta. Dan orang Jawa justru membaca Indonesia sebagai Endonesa dengan logat yang kental sambil tersenyum simpul saat orang tertawa mendengarnya. Semua menjadi kikuk sekaligus gengsi untuk bergincu dengan “bahasa” aslinya, “bahasa” kelahirannya.
“Bangsa” tidak boleh dikecilkan semata-mata menjadi “suku-bangsa” seperti yang terjadi selama 60 tahun terakhir. Siapa yang dapat memungkiri Bangsa Papua berbeda dengan Bangsa Minang baik dari antropologis, sosiologis dan segalanya? Bahwa keterbentukan Negara belum tentu menghasilkan Nasion. “Pemaksaan” bahasa Indonesia sebagai alat penyebar-luasan Kebudayaan Indonesia pun tidak dapat dipandang sebelah mata. Maka jangan aneh jikalau “Sastra daerah” mati perlahan menurut fungsi waktu: bagaimana mungkin Ketoprak dimainkan dengan “bahasa” Indonesia? Atau: bagaimanakah pantun-pantun daerah di-Indonesiakan menjadi Sastra Modern Indonesia? Terasa hambar—karena memang memiliki jiwa yang sama sekali berbeda. Lalu bagaimana dengan penutur Melayu-Minahasa yang kemasukan Portugis, Spanyol, Belanda, Perancis dan Inggris sehingga mengenal kata kala lampau, sekarang dan futura.
Sastra Modern Indonesia yang telah 100% mapan bernafaskan bangsa, bahasa dan tanah air satu Indonesia, sebagai anak kandung Kebudayaan Indonesia, dan mampu berdiri kokoh merepresentasikan Bangsa Indonesia yang baru karena—wajib—menggunakan bahasa Indonesia. sastrawan-sastrawati Indonesia merupakan orang daerah yang berbahasa non-Indonesia. Mereka lahir sebagai bangsa berbahasa tradisi, beradat-istiadat lokal turun-temurun: peninggalan adiluhung nenek moyang yang tak boleh punah dimakan jaman beratus-ratus tahun. Tapi ironisnya, hampir semua sastrawan itu menulisi karya sastra mereka dengan “bahasa” Indonesia, dalam konteks Indonesia Baru. Terlihat jelas, bangsa baru sudah lahir, membuat bangsa-bangsa lama bukan hanya melepaskan bahasa, pakaian dan istiadat saja, melainkan telah menanggalkan tanah kelahirannya berduyun-duyun menuju pusat orbital baru: Indonesia hijau nan yunior. Seorang Putu Wijaya lahir di Bali dan pasti fasih budaya Bali justru membuat karya ber-”bahasa” Indonesia baik sastra, teater maupun film dan sinetron. Demikian pula, Sitor Situmorang yang jelas-jelas menggunakan “bahasa” dan tradisi Batak sejak batita bapaknya tetua adat di Samosir tetap saja menggubah puisinya tanpa mengeksplorasi aksara Batak seintensif “bahasa” Indonesia. Seluruh sastrawan yang berbicara di Biennale Sastra Utan Kayu 2007 baru-baru ini sejatinya lahir di daerah sebagai penganut bangsa-bangsa lokal “non-Indonesia”—tapi mereka lebih fasih memberikan kuliah Sastra Indonesia ketimbang tanah kelahirannya. Apa jika Gus tf Sakai menulis puisi dalam “bahasa” Minang maka dia akan dicoret dalam daftar sastrawan (berbahasa) Indonesia? Dewi Lestari, orang Tapanuli yang lahir di tanah Sunda, sejatinya memiliki perpaduan budaya Batak dan Sunda toh wajib menyerah dan kembali menulisi novel dan syair lagu dalam “bahasa” Indonesia. Lebih beruntung Ayu Utami, atau Intan Paramaditha. Sebagai sastrawan yang lahir sebagai generasi urban (baca: Jabodetabek) mereka besar, berpendidikan dan berkarir di “pusat bahasa” yang secara otomatis memiliki kemampuan eksplorasi lebih alami dalam mengolah “bahasa” Indonesia—nyaris segalanya menggunakan “bahasa” Indonesia. Tapi bagaimana dengan seniman Bangsa Betawi yang juga tinggal di tanah yang sama, hanya saja, menggunakan “bahasa Indonesia rendahan”, “nirbaku”, tidak ketat dengan Ejaan Yang Disempurnakan? Bagaimana nasib tetua adat Asmat yang hanya mampu ber-“bahasa” Asmat jiwa raganya akan tetapi tak kuasa mencipta novel dalam Bahasa Indonesia campur-aduk tanpa struktur: apakah bangsa Dayak jadi kehilangan adiluhungnya? Sebuah keniscayaan novel-novel sastrawan Manado dan Bugis tak akan pernah memenangkan lomba sastra Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) hanya karena tak pandai ber-”bahasa” Indonesia baku—syarat mutlak Sastra Modern Indonesia—dan mimpi rasanya petani cengkeh Gorontalo bermain kata-kata Indonesia dalam Cerpen Kompas Minggu. Mereka-mereka yang orbital ini tak akan bisa masuk dalam daftar “Almanak Buku Kehidupan Abadi Sastra Indonesia” kecuali mengganti mulut mereka menjadi “bahasa” Indonesia, mengganti tulisan mereka menjadi huruf Indonesia, seperti yang dilakukan “sastrawan” mutakhir Indonesia!
Sastrawan-sastrawati yang muncul sebagai “angkatan” atau “periodisasi” pascareformasi—jikalau kita mempercayai adanya periodisasi/kanonisasi sastra—adalah bukti nyata bahwa kebudayaan baru Indonesia telah lahir di dalam dan lewat mereka. Sebut saja nama-nama angkatan muda sastrawan mutakhir Indonesia setelah tumbangnya Soeharto: Dewi Lestari, Djenar Maesa Ayu, Intan Paramaditha, Ayu Utami, Nukila Amal, Clara Ng, Rieke Dyah Pitaloka, Dewi Sartika, Puthut EA, Richard Oh hingga Saut Situmorang: semua-muanya tinggal di kota besar. Yang kurang “sastra”, entah apa definisinya, tak mau ketinggalan: para artis sinetron giat berbuku ria, menambah centang-perenang karya “sastra” Modern Indonesia. Simak saja tulisan Tamara Geraldine, Happy Salma, Venna Melinda, Melly Goeslaw hingga karya “esek-esek” Moammar Emka.
Tanpa mempertimbangkan bermutu atau tidaknya, itu masalah lain lagi, yang jelas: seluruh karya-karya mereka, semua-muanya, alhasil sukses merepresentasikan manusia urban baru yang lepas dari tradisi leluhurnya, seiring masuknya kekuatan demoralisasi, internasionalisme, globalisme-kapitalisme dan kosmopolitanisme yang tersebar secara separatis di kota-kota (besar) di Indonesia. “Kebudayaan Kota” telah menggusur “Kebudayaan Petani”. Di sinilah pangsa terbesar: mereka, para pemakai “bahasa” Indonesia yang identik dengan modernitas. Manusia-manusia pelaku “Kebudayaan Nasional” ialah mereka yang sudi melepaskan pakaian lama mereka—secara sadar—lalu mengunyah “bahasa” baru bernama Indonesia. Mereka telah dilahirkan sebagai anak-anak baru, kemudian menjadi, “Asli Indonesia”, “made in Indonesia”: bertutur Indonesia, berbahasa Indonesia, berbangsa Indonesia. Kami, Indonesia, adalah warga negara dunia, mengutip Surat Kepercayaan Gelanggang beberapa dekade silam. Sebuah Nasion telah datang ke bumi diutus Tuhan pada tujuhbelas-agustus-seribu-sembilanratus-empatpuluhlima, maka kami siap berbahasa baru Indonesia, maka kami ada.
Jikalau Kebudayaan Modern Indonesia masih diformulasikan sebagai “puncak” dan “saripati” kebudayaan (tradisi) daerah, maka jangan heran, secara otomatis “trinitas” Sumpah Pemuda satu bangsa, bahasa dan tanah air menjadikan “Bahasa” Modern Indonesia-EYD sebagai “puncak” dan “saripati” bahasa-bahasa tradisi: sesuatu yang suci, dogmatis dan tidak bisa diotak-atik lagi sampai kapan pun.
Bukankah modal utama sastra adalah “bahasa” dan pengalaman berbahasa? Demikianlah, lengkap sudah, dan jangan pura-pura kaget, jikalau Sastra Modern Indonesia-EYD, pengusung setia “bahasa” Indonesia modern, merupakan “puncak” dan “saripati” dari sastra tradisi bangsa-bangsa se-Nusantara dengan struktur rigid seperti ini.


Implikasi langsungnya: Sastra-sastra tradisi menjadi hamba bagi sang tuan Indonesia, demi kepentingan “nasional”. Sastra Modern Indonesia adalah anomali: pelakunya berjajar berbagai bangsa dari pulau We hingga pulau burung cendrawasih, namun kicaunya satu muara: “bahasa” Indonesia yang “asing” dan trendi bagi anak-cucu mereka. Sastra tradisi tak lebih hanya anak-sastra yang diadopsi sebagai bagian keluarga besar Sastra Modern Indonesia, pelaku yang enggan bermain lokalitas. Sastra Modern Indonesia jelas anomali karena bermain melulu dengan tradisi anyar: tradisi satu modernitas, atas nama globalisasi “penerus kebudayaan dunia” di saat memiliki ribuan tradisi mumpuni di dalam kantungnya. Sastra Modern Indonesia pasti anomali: meskipun profesi sastrawan Indonesia tak pernah menjanjikan kekayaan dan kedudukan terhormat bagi sebagian besar penggiatnya, walhasil animo menjadi sastrawan sangat tinggi bagi rentetan anak-anak muda di sepanjang Nusantara. Mari kita berpikir rasional, mengutip Remy Silado, “Kebudayaan Nasional” berpangkal dari “Bahasa Nasional”, maka jelas: modalnya hanya satu: berbahasa nasional.

Contoh-contoh ( Pribadi):
Ø PANTUN
1. Goreng garing ikan peda
Dicampur nasi atau bubur
Buat apa hidup bergelimang harta
Kalau ternyata menjadi kufur

2. Air sungai meluapi jawa
Menggenangi sawah, merobohkan pagar
Koruptor sibuk berfoya-foya
Acuhkan balita busung lapar

3. Mejikuhibiniu warna pelangi
Temanya sapi itu kerbau
Jika kesalahan tidak dikoreksi
Ditutupi pun akan semakin galau


Ø KARMINA
1. Ada beruang
Bermain buih
Dahulu senang
Sekarang sedih

2. Ada bola
Dalam gawang
Dahulu suka
Sekarang dibuang

3. Negara hukum
Rakyat bahagia
Sudah tersenyum
Tertawa pula

Ø GURINDAM
1. Manusia mengenal cinta
Tingkah lakunya bagai orang gila

Manusia berakhlak mulia
Senyum di bibir, lembut tutur katanya

Apabila bersama seorang sahabat
Masalah bisa diatasi dengan cepat

Apabila manusia selalu jujur
Kesulitan pun akan berbuah mujur

Jika hendak menumpas angkara
Mulailah untuk tidak berdusta

Apabila manusia banyak tertawa
Akan hilang akal di kepala
Hormatilah ayah bundamu
Akan ringan hidup dunia dan akhiratmu

Hati itu lentera jiwa
Jikalau padam sia-sialah raga

2. Apabila hati penuh praduga
Celaka jiwa bergelimang dosa

Barang siapa mengenal akhirat
Tahulah ia dunia mudarat

Kalau mulut tajam dan kasar
Boleh ditimpa bahaya besar

hidup

kisah-kisah yang tak sempurna antara kesuksesan dan kebahagiaan